Penyebeb Krisis Politik Dalam Negeri
KEGAGALAN PENYUSUNAN UUD BARU
Konstituante mempunyai tugas untuk merumuskan UUD yang baru sebagai pengganti UUDS 1950. Dewan itu mulai bersidang pada tanggal 10 November 1956. Namun sampai tahun 1958 dewan itu belum menunjukan kemampuan apapun. Sidang diwarnai oleh perdebatan yang berkepanjangan sehingga kesepakatan merumuskan UUD selalu menemukan jalan buntu. Kenyataan itu menimbulkan krisis politik di dalam negeri. Krisis itu diperburuk oleh gejala pembengkakan di daerah seperti pemberontakan PRRI dan permesta.
Situasi negara yang kian genting tidak membuat konstituante tergerak untuk merampungkan tugasnya. Dewan itu masih saja larut dalam perdebatan yang alot mengenai UUD yang akan di berlakukan di Indonesia. Masalah yang paling penting mengenai dasar negara. Di tengah kemacetan konstituante yang mengancam keutuhan negara, pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno berpidato di depan sidang konstituante. Dalam pidatonya itu ia mengajukan agar dalam rangka demokrasi terpimpin, konstituante menetapkan UUD 1945 menjadi undang-undang dasar Republik Indonesia yang tetap.
Menanggapi usul Presiden tersebut, konstituante melakukan pemungutan suara untuk menentukan apakah akan menerima atau menolak usul tersebut. Sidang pemungutan suara pada tanggal 29 Mei 1959 tidak mencapai korum karena karena banyak anggota yang hadir. Keadaan itu menimbulkan kemacetan lagi dalam sidang konstituante. Pemungutan suara yang terakhir di lakukn pada tanggal 2 Juni 1959. Akan tetapi korum tidak terpenuhi. Guna mengatasi kemacetan, konstituante memutuskan reses. Ternyata reses itu untuk selama-lamanya. Bagi kalangan mliliter, trutama angkatan darat, kemacetan dalam konstituante merumuskan UUD dan menanggapi tawaran Presiden dapat menjerumuskan negara dalam bahaya perpecahan. Pendapat itu memang beralasan karena negara sedang menghadapi masalah keamanan yang amat berat. Atas dasar pertimbangan menyelamatkan negara kepala staf angkatan darat, Letnan Jenderal A.H. Nasution, mengeluarkan larangan itu dikeluarkan atas nama pemerintah. Larangan itu di tindak lanjuti oleh Presiden Soekarno dengan mengeluarkan suatu dekrit. Dekrit tersebut akibat pembubaran konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945. Tindakan Presiden tersebut mendapat sambutan dari kalangan militer, semua politisi, dan masyarakat yang telah jenuh dengan tidak kunjung selesainya krisis politik dan ekonomi.
0 komentar:
Post a Comment